Pengaruh Pilpres & Perang Dagang AS-China, Terhadap Ekonomi Indonesia
Pembicara: Faisal Basri (Ekonom UI)
Resume Seminar Bulanan AMA Bandung, Hotel Bidakara Savoy Homann, 8 Mei 2018
Menghangatnya suhu politik Indonesia diawali dengan beberapa kejadian atau berita seperti pidato Prabowo Subianto tentang Indonesia akan bubar pada tahun 2030, hastag pada kaos #ganti presiden 2019.
Survey tentang elektabilitas memperlihatkan tren elektabilitas Jokowi naik, sementara beberapa nama yang banyak dibicarakan sebagai calon presiden (Prabowo, Gatot, dll) elektabilitasnya menurun. Masyarakat tidak melihat adanya calon-calon presiden kuat yang lain. Adanya kemungkinan poros baru calon presiden (keluarga Cikeas misalnya) dinilai akan ada bagusnya sehingga ada 3 pilihan, bukan sekedar 2 pilihan. Sementara itu survey terakhir tingkat kepuasan masyarakat terhadap Jokowi mencapai angka 70%, ini ada kenaikan tipis dibandingkan hasil survey serupa pada bulan Oktober 2017.
Secara umum, apabila pola perpolitikan Indonesia masih berlangsung terus seperti sekarang, kemungkinan pemerintahannya akan tetap ‘gemuk’ dan semakin tidak lincah. Pola pemerintahan koalisi banyak partai seperti sekarang membuatnya tetap ‘high fragmented’. Ini sangat berbeda jauh dengan karakteristik pemerintahan Orde Baru (Soeharto) yang kekuatannya terkonsentrasi di eksekutif.
Diperkirakan, pengaruh pemilu terhadap pertumbuhan ekonomi tidak akan banyak karena pemilu ini dilaksanakan secara serentak. Situasi keamanan diperkirakan akan dapat terjaga. Pemerintahan Jokowi dinilai cukup punya kemampuan untuk meredam isu sektarianisme dan menekan (menggembosi) mesin penggeraknya seperti Riziek dan Saracen (sindikat kelompok pelaku kejahatan siber). Pemerintahan Jokowi juga merangkul MUI dan melakukan kampanye Bhinneka Tunggal Ika. Dapat dikatakan bahawa demokrasi di Indonesia relatif lebih sehat ketimbang Thailand, Malaysia, Filipina dan Singapura. Modal paling berharga yang dimiliki Indonesia adalah kebebasan yang mampu menciptakan ‘built in stabilizer’ atau ‘clearing’ di pasar politik.
Mengenai perang dagang AS-China, sebenarnya trade war ini belum terjadi. Kemungkinan terjadinya trade war bisa diawali dengan adanya tindakan seperti, AS maupun China telah mengadukan adanya pelanggaran praktek perdagangan ke WTO (World Trade Organization), masing-masing pihak membuat daftar panjang barang yang dikenakan bea masuk, pengenaan tarif, dan pengenaan kuota. Namun diperkirakan dampaknya terhadap Indonesia tidak akan signifikan. Memang dari setiap situasi akan selalu ada dampak peluang dan dampak ancaman. Mungkin salah satu peluang yang bisa dinikmati Indonesia adalah beralihnya AS impor baja yang semula dari China, akan impor dari Krakatau Steel Indonesia, tinggal persoalannya apakah kapasitas kita siap melayani.
Semua efek dinilai masih dapat dikelola (managable), mungkin satu-satunya yang membuat kita (pelaku bisnis) tidak tenang adalah menurunnya nilai tukar rupiah terhadap US Dollar yang menembus angka Rp. 14.000,-. Kunci penentu secara makro adalah ‘stabilitas’. Jika tidak ada ‘gejolak dunia’ Indonesia relatif aman.
Pencatat: Dadang Budiaji
Persiapan Uji Kompetensi Fakultas Teknik Industri Universitas Maranatha
Ketua Bidang II AMA Bandung Drs. Ali Ramadhan
Dengan Ketua Prodi Teknik Industri Maranatha & Himpunan Mahasiswa Universitas Kristen Maranatha
Tanggal 26 - Januari - 2018
Klik Disini Untuk Melihat Gambar
Sharing Anggota AMA Bandung di HU Pikiran Rakyat hari ini